Adu Cepat di Rawa Kadut

Adu Cepat di Rawa Kadut

Disalin sepenuhnya dari:
Ekuilibrium Konservasi: Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional Way Kambas (TFCA Sumatera, 2017)

Luasnya hamparan ilalang menjadi tengara masa lalu masih menggelayuti Way Kambas. Untuk menumpas rumput tangguh itu, hutan ditumbuhkan kembali. Namun, upaya pemulihan hutan sungguh tidak mudah.

Nyaris tak ada pohon di hamparan alang-alang. Ulah pemburu liar yang membakar rumput berulang-ulang telah menghentikan proses suksesi alami. Dan terciptalah ekosistem ilalang. AGUS PRIJONO

"Upaya reforestasi di Rawa Kadut akan menautkan hutan di timur dengan hutan di sisi barat taman nasional."

Rinai hujan sepertinya enggan berhenti. Sudah sejak pagi, gerimis mengguyur Way Kambas. Tak menghiraukan cuaca yang basah, Tim reforestasi itu beranjak ke jantung taman nasional. Serejang menunggu hujan reda, Fajar Sandika Negara dan timnya berteduh di kedai sederhana. Kopi hangat menemani koodinator reforestasi Konsorsium AL eRT-Universitas Lampung itu

Hari itu, dia hendak ke lokasi reforestasi, atau penghutanan kembali, Rawa Kadut di Resor Toto Projo, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Bungur, Taman Nasional Way Kambas. Rawa Kadut berada di tengah padang ilalang di jantung taman nasional. Di sisi timur Rawa Kadut membentang hutan dataran rendah, dan di sisi barat terdapat sederet hutan yang ringkih. Kendati didomi - nasi ilalang, hutan tumbuh hijau di sepanjang sungai kecil. Deretan hutan ini membentuk jaringan seperti lengan gurita: menjalar ke segala arah mengikuti anak sungai.

Kopi telah tandas di dasar gelas. Kendati cuaca tak pasti, dia tetap berangkat berombongan dengan sepeda motor. Roda-roda sepeda motor mengaduk setapak yang berlumpur. Setelah menyeberangi sungai dengan menumpang rakit yang rapuh, rombongan menem - bus hutan sekunder. Aroma hutan mengapung di udara. Pepohonan tumbuh rapat. Air menggenang, jalan setapak berlumpur.

Keluar dari hutan, rombongan mulai menembus hamparan alangalang. Di segala penjuru, rumput berbulu itu merajai bentang alam. Di batas cakrawala, hutan berbaris jarang-jarang. Hutan galeri tumbuh di sepanjang aliran sungai kecil. Sisa-sisa kejayaan hutan di masa lalu terlihat dari satu dua pohon yang masih bertahan hidup. Dalam pandangan 360 derajat, ilalang menguasai bentang alam.

Menjulang di tengah padang, pohon ini menunjukkan hutan pernah menyelimuti kawasan Rawa Kadut. Kini, perlu usaha keras untuk memulihkan kembali hutan yang telah sirna. AGUS PRIJONO

Untuk menjangkau areal penghutanan kembali, tim harus menyeberangi sungai di perbatasan taman nasional. Tempat penyeberangan ini akan terputus bila air sungai meluap. Lokasi yang terpencil mempersulit akses menuju areal reforestasi. AGUS PRIJONO

Dari batas hutan tadi, jarak ke Rawa Kadut sekitar 10 kilometer. “Itu jarak lurus di atas peta,” ujar Fajar. Tapi di lapangan, ia menempuh jarak lebih jauh karena jalan yang berbelok-belok. Di hamparan alang-alang itu, angin berhembus leluasa tanpa penghalang. Langit membentang lapang. Hujan yang baru turun seolah tak berbekas. Air begitu cepat menguap.

Munculnya lautan ilalang ini lantaran perbuatan manusia. Fajar mengatakan, pada era 1970-an, perusahaan hutan pernah mengelola wilayah ini. Dahulu, wilayah taman nasional memang areal konsesi pengusahaan hutan selama kurun 1970-an hingga 1980-an.

Setelah itu, pembalak liar menebangi pohon hingga awal 2000. Ganasnya pembalakan liar tak menyisakan pepohonan. Bahkan tonggak akar pun tak ada bekasnya. Akibatnya, hutan semakin terbuka, lalu tumbuhlah ilalang.

Sialnya, itu bukan pukulan terakhir. Setelah itu, orang-orang tak bertanggung jawab menggunakan padang ilalang sebagai ladang perburuan. Mereka menyasar satwa dengan cara membakar lahan. Ilalang makin merajalela, pohon hutan semakin sulit tumbuh. Tanpa disadari, pembakaran berulang-ulang telah menciptakan bentang alam buatan manusia: ekosistem padang ilalang.

Sebenarnya, tanpa campur tangan manusia, hutan Way Kambas yang pernah ditebang bisa memulihkan diri. Melalui kondisi tanah dan anakan vegetasi, tangan alam dapat melakukan suksesi alami. Secara alami, hutan sebenarnya punya daya lenting: ia bisa memulihkan kembali.

Dari 125.621 hektare luas taman nasional, hanya 78.500 hektare atau 60 persen yang diselimuti hutan dataran rendah. Sisanya 40 persen terdiri dari hutan mangrove, hutan rawa, ilalang dan belukar. Data Balai Taman Nasional menyebutkan, hamparan ilalang mencakup luasan 27.000 hektare.

Pondok kerja di lapangan untuk menjaga, merawat, dan memastikan bibit tanaman dapat tumbuh secara normal. Aktivitas di pondok kerja juga untuk mencegah pemburu liar masuk taman nasional. Sayangnya, upaya pencegahan itu tak selalu berhasil. Pemburu tetap saja membakar lahan untuk memburu satwa liar. AGUS PRIJONO

Di tengah lautan ilalang itu, Konsorsium ALeRT-UNILA berupaya menumbuhkan kembali hutan yang telah sirna. Sebagai salah satu anggota Konsorsium, Yayasan Auriga memegang kendali atas program reforestasi. Dan hari itu, Fajar akan menilik lokasi reforestasi Rawa Kadut. Lokasinya kira-kira berada di padang ilalang di pusat taman nasional. Ini wilayah antah-berantah. Meski bisa dijangkau dengan sepeda motor, namun untuk urusan logistik penanaman, Rawa Kadut terbilang terpencil: jauh dari pemukiman dan pos pengelolaan taman nasional.

Ada beberapa alasan memilih lokasi yang terpencil. “Pertimbangan pertama, kita melihat Rawa Kadut strategis. Rawa Kadut betul-betul berada di tengah taman nasional. Artinya, di masa depan kalau kita mau melanjutkan reforestasi, arahnya bisa ke mana saja.” Dalam pandangan Fajar, keberhasilan penghutanan kembali di Rawa Kadut bisa dilanjutkan ke segala arah. Dengan demikian, hutan yang kembali tumbuh akan menjadi koridor yang menautkan habitat satwa yang terpecah-belah.

Alur pikirnya begini. Di sisi timur Rawa Kadut, membentang hutan dataran rendah yang luas dan relatif utuh; sementara di barat, berserakan bercak-bercak hutan. Hamparan alang-alang Rawa Kadut membentang di tengah-tengah, yang memisahkan kerumunan hutan di timur dan di barat itu.

Harapannya, di masa datang, upaya penghutanan kembali, yang dimulai dari Rawa Kadut, bisa menyambungkan hutan di timur dan barat. Tutupan hutan di sisi barat relatif masih bagus; sementara di sisi timur, hutan telah jarang-jarang, yang sekaligus menjadi batas kawasan taman nasional.

Kebakaran hutan menghanguskan apa saja yang ada di padang ilalang. Rumput yang mengering amat rawan kebakaran. Sekali tersulut, api akan berkobar, lalu melalap semua bentuk kehidupan. AGUS PRIJONO

"Sayangnya, baru berumur 8 - 9 bulan, tanaman lebur dilalap api."

Tersambungnya dua sisi hutan itu akan membentuk koridor vegetasi, yang memudahkan satwa menjelajahi taman nasional. Yang kedua, lanjut Fajar, Rawa Kadut sekaligus berada di pusat masalah taman nasional, terutama perburuan satwa liar. “Program reforestasi akan memperbanyak aktivitas di tengah taman nasional yang bisa mencegah perburuan liar. Jadi ketika ada aktivitas di Rawa Kadut, pemburu akan berpikir dua kali dan menghindar.” Ringkasnya, kehadiran personel memberikan efek gentar kepada pemburu liar. Itu pertimbangan dari sisi nonteknis.

Sedangkan secara teknis tanam-menanam, upaya reforestasi memerlukan beberapa syarat: lokasi pembibitan tak jauh dari areal penanaman, persemaian cukup terbuka untuk sinar matahari; dan mudah dijangkau. Di atas segala syarat tersebut, yang terpenting adalah sumber air di sekitar persemaian. Air menjadi faktor pembatas keberhasilan tanam-menanam. Di sekitar Rawa Kadut, air berasal dari aliran sungai, sumur, dan hujan.

BILAH-BILAH daun ilalang bergelombang di terpa angin tropis. Daun alang-alang yang masih basah memantulkan cahaya matahari. Saat menembus alang-alang, daun rumput yang tajam dan berbulu halus menampari lutut. Lama-kelamaan terasa perih. Bentangan rumput ini bukan seperti lapangan bola yang berumput lembut. Bayangkan: alang-alang tumbuh setinggi leher, tepi daunnya tajam, bulu-bulu daun menyengat kulit. Setelah melewati hutan galeri— deretan vegetasi yang tumbuh di sepanjang sungai kecil, Fajar tiba di pondok kerja reforestasi. Mendung masih menggantung di langit.

Di pondok kerja berloteng itu, hari itu Ahmad Tohari dan Sutrisno sedang giliran bertugas. “Piket rutin biasanya antara dua sampai empat orang selama delapan hari. Setelah itu pulang, ganti orang,” jelas Fajar.

PONDOK KERJA
Di pondok ini, anggota tim reforestasi menginap dan beristirahat selama menjalankan tugasnya. Lantaran jauh dari peradaban, pondok kerja dilengkapi dengan kamar tidur di loteng, dapur sederhana, kamar mandi, dan sumur. Semua fasilitas tersebut jauh dari kemewahan. AGUS PRIJONO

Program reforestasi memang melibatkan masyarakat setempat untuk memelihara tanaman, membabati rumput di sekat bakar, menanam dan mengelola pembibitan. Sejenak melepas lelah, Fajar dan rombongan meriung. Di sudut ruang belakang, terdapat dapur sahaja dan kamar mandi. Sementara lantai atas digunakan untuk istirahat dan berlindung dari satwa liar.

Kebun bibit terdapat di samping pondok, beratapkan jaring peneduh. Hutan galeri tumbuh menjalar di sepanjang sungai kecil di belakang pondok. Dari teras loteng, yang terlihat hanya ham - paran alang-alang. Musim sedang ramah: ilalang menghijau segar. Sebaliknya, pada saat kemarau, ucap Fajar, “Alang-alang berwarna kuning. Semuanya menguning.”

Lantas di mana tanaman untuk menumbuhkan kembali hutan Way Kambas? Seluruh tanaman rupanya tenggelam dalam kepungan alang-alang. Sekali lagi, untuk melihat tanaman reforestasi, Fajar mesti menembus hamparan rumput. Alang-alang menutupi jalan setapak. Ini benar-benar samudra ilalang.

Menghutankan kembali kawasan ini perlu kerja keras: menata jalur tanam, memasang ajir, lalu menanam di tengah kepungan rumput. Kemudian tim mesti merawat tanaman agar mampu bersaing dengan rumput tinggi

Usai Fajar menyibak ilalang, nampaklah bibit tanaman reforestasi. “Jarak tanamnya 3 meter kali 3 meter,” jelasnya. Namun rapat - nya alang-alang membenamkan tanaman. Untuk mengecek setiap tanaman, Fajar mesti menerjang rapatnya alang-alang. Di sekitar tanaman, Fajar dan timnya menyiangi rumput untuk memberi ruang tumbuh. Untuk mengecek satu demi satu tanaman, Fajar mesti menyibaki alang-alang

Berbeda dengan jalur tanam umumnya, tumbuhan reforestasi ditanam dengan jalur petak berlapis. Jalur tanam ini akhirnya mem - bentuk bujur sangkar berlapis-lapis, yang semakin mengecil di pusat bujur sangkar. Gagasan jalur tanam ini, papar Koordinator Konsor - sium Marcelius Adi, untuk memutus rembetan api kebakaran hutan. Di areal reforestasi, sedikitnya telah ditanam 32.000 bibit dari jenis sungkai, puspa, jambon, pulai, sempu, dan salam. Seluruh bibit itu diambil anakan yang tumbuh di Way Kamas. Bibit cabutan dipilih untuk memastikan tumbuhan yang ditanam asli Way Kambas.

Bibit tanaman dipungut dari wilayah taman nasional untuk menjamin keaslian spesiesnya. Areal pembibitan berada di lapangan untuk membantu adaptasi bibit, serta memudahkan pengangkutan bibit ke areal penanaman. AGUS PRIJONO

MENUMBUHKAN kembali hutan yang sirna dalam kepungan ilalang bagaikan menegakkan benang basah. Sulitnya minta ampun. Saat musim hujan, alang-alang tumbuh tinggi. Tumbuhan yang ditanam mesti bersaing keras dengan rumput tangguh itu.

Sebaliknya, pada musim kemarau, air sungguh sulit. Tantangan pada musim kemarau semakin berat karena pemburu liar kerap memperkeruh keadaan. Untuk menarik satwa, pemburu membakar rumput. Sekali sulut, api akan berkobar. Pembakaran itu menum - buhkan rumput baru yang disukai satwa herbivora. Saat satwa memakan rumput segar, pemburu mengincarnya. Tidak heran, bila usai kebakaran, perburuan liar acap kali meningkat.

Pembakaran oleh para pemburu itulah yang menghanguskan tanaman reforestasi tahun 2014. Pada September 2014, kebakaran melahap areal reforestasi seluas 46,8 hektare. Akibatnya: 90 persen tanaman mati. “Proyek reforestasi dimulai pada pertengahan 2013, dan kita mulai menanam pada saat musim hujan antara Januari sampai Maret 2014,” kenang Fajar. Sayangnya, baru berumur 8 - 9 bulan, tanaman lebur dilalap api. Lantas, Fajar menyulami tanaman yang mati terbakar. “Tapi akhirnya itu bukan penyulaman. Itu penanaman ulang yang dilakukan pada Januari 2015. Jadi, tumbuhan yang sekarang adalah hasil penamanan 2015.”

Pada kebakaran 2014 itu, api menjalar dari arah utara. Biang kebakaran itu tak ada yang tahu. Namun pengalaman menunjukkan kebakaran bukan karena penyebab alami. “Ya, karena pemburu liar membakar padang alang-alang. Kalau penyebab alami sangat kecil kemungkinannya.”

Fajar mengungkapkan bahwa intensitas perburuan rupanya sangat tinggi. Pemburu kerap masuk dari sisi Rawa Kadut. “Dari pondok kerja, bukan sekali dua kali kita mendengar tembakan, atau melihat sorot senter di jalur tanam.”

Sejak awal program, Konsorsium ALeRT-UNILA menyadari bahwa upaya reforestasi harus diiringi dengan pencegahan kebakaran dan patroli pengamanan. “Jadi tidak hanya urusan teknis penanaman, tapi kita juga melakukan pencegahan kebakaran dan patroli bersama polisi hutan,” papar Marcelius Adi. Untuk menahan rembetan api, sekat bakar dibangun di sisi utara areal reforestasi. Sekat bakar membentang selebar 30 meter, sepanjang satu kilometer. Ujung timur dan barat jalur sekat bakar bertemu dengan ujung barisan vegetasi yang tumbuh di tepi sungai. Ujung hutan di tepi sungai itu, kata Fajar, “Kerap disebut ‘kepala rawa’."

Secara geografis, areal reforestasi dikelilingi hutan yang tetap hijau sepanjang tahun yang tumbuh mengikuti aliran sungai kecil. Hutan yang selalu hijau inilah yang menjadi benteng perlindungan areal reforestasi dari kebakaran. Sementara di sisi utara, lantaran tidak ada penghalang alami, Fajar membuat sekat bakar. “Kita tahu, sisi utara itu langsung menyambung dengan hamparan rumput.” Sayangnya, pada kebakaran hutan 2014, api melompati sekat bakar.

Rupanya, saat itu rumput yang sempat dibabat sudah tumbuh tinggi meski tidak setinggi rumput yang tumbuh liar. Tak terelakan, api melalap tanaman. Ini ibarat adu balap antara menumbuhkan hutan dengan cepatnya perkembangan ilalang.

Tak mengenal waktu dan musim, tim reforestasi rutin membabati rumput di areal sekat bakar. Pengalaman musnahnya tanaman karena kebakaran hutan menuntut tim untuk selalu memangkasi rumput di sekat bakar. Rumput kering amat sulit dipangkas: alot, dan membelit bilah pisau potong.. AGUS PRIJONO

Pembabatan rumput secara rutin telah dilakukan di jalur sekat bakar. “Tapi, saat pembabatan bagian tengah misalnya, rumput di pinggir sudah tumbuh lagi, entah itu setinggi 30 sentimeter ataupun lebih.” Pertumbuhan alang-alang memang begitu cepat: dipotong di sini, di sana sudah tumbuh kembali. Waktu kebakaran itu rumput belum sempat dipotong, sehingga api menjalar ke areal reforestasi. “Sebenarnya sempat dipadamkan, namun esok harinya api muncul kembali. Mungkin masih ada bara yang belum padam,” simpul Fajar.

Personel di pondok kerja pun selalu memantau keadaan. Setiap ada titik api, kendati lokasinya jauh, personel tetap siaga. Sejauh ini pemadaman dilakukan secara manual: menyemprotkan air atau menggebah api dengan dedaunan. “Sebenarnya untuk mengamankan areal reforestasi kita harus proteksi lahan seluas 5.000 hektare. Tapi kondisi Rawa Kadut saat ini belum memungkinkan. Kita baru bisa memproteksi sekitar 100 hektare.”

Memang tak mudah memadamkan api di padang alang-alang. Ibaratnya, pada musim kering, ribuan tanaman reforestasi berada dalam kepungan 'bahan bakar'. Daun alang-alang yang kering adalah bahan bakar nan dahsyat: sekali sulut, api cepat merambat! Tiadanya vegetasi penghalang memperburuk keadaan: embusan angin menghamburkan bunga api ke segala penjuru.

Lagipula, Rawa Kadut yang terpencil membuat pemadaman makin sulit. Rawa Kadut terletak di Resor Toto Projo SPTN II Bungur. Kedua kantor itu berada di desa terdekat, Tanjung Tirto, yang jaraknya 10 kilometer dari areal reforestasi. Aksesibilitas yang sulit berimbas pada rendahnya frekuensi patroli, sehingga Rawa Kadut minim proteksi. Pun saat terjadi kebakaran, tim pemadam juga tak bisa segera menjangkau lokasi.

Sekali ilalang terbakar, api akan mengamuk ke segala arah. Kebakaran telah melumat bibit penghutanan kembali pada 2014. Embusan angin mempersulit usaha memutus menjalarnya api. AGUS PRIJONO

KEBAKARAN hutan merupakan tantangan terbesar dalam memu - lihkan hutan Rawa Kadut. Sedikitnya, 75 persen tutupan lahan di STPN II Bungur didominasi ilalang dan semak belukar. Jadi tak mengejutkan bila api kerap membakar wilayah ini. Setiap tahun, kebakaran hutan di Bungur adalah yang terluas di Way Kambas. Tantangan inilah yang menguras energi. Fajar menuturkan, pada 2015 dilakukan penanaman ulang terhadap tanaman 2014 yang habis dilumat api. “Akhirnya, kita menanam lagi. Itu jadinya bukan penyulaman,” Fajar menegaskan.

“Asal tidak terbakar, sebenarnya tanaman masih bisa tumbuh. Dari teknis penanaman tidak ada masalah. Saat kemarau, tanaman pasti tumbuh walaupun mungkin kekurangan air,” timpal Marcelius. “Meski dilanda kemarau, kita selalu memasok air di lokasi penanaman. Memang saat musim kering, air hilang sama sekali. Bahkan sumur di pondok kerja juga mengering. Ke depan, kita harus membuat sumur dalam sekitar 15 meter di lokasi reforestasi. Sumur yang ada sekarang paling hanya sedalam 6 - 8 meter.”

Sejak tahap perencanaan, tim telah memilih tanaman pionir dan relatif tahan api. “Puspa, sempu, dan sungkai merupakan jenis pionir yang tahan api. Asal tanaman sudah tumbuh 50 sentimeter sampai 1 meter, kalau pun terbakar, akarnya masih cukup kuat,” ungkap Marcelius. Kebakaran hebat pada 2014 memberikan pelajaran penting dalam upaya memulihkan hutan di Rawa Kadut dan sekitarnya.

“Evaluasi kita ada beberapa hal. Pertama deteksi dini harus lebih cepat. Waktu itu api terdeteksi sudah sangat dekat dengan sekat bakar. Kedua, setelah api dipadamkan, harus dipantau kembali untuk memastikan bara benar-benar padam,” Fajar memaparkan. Pence - gahan kebakaran diperkuat dengan patroli rutin bersama polisi hutan. “Kita semakin rutin berpatroli, setiap bulan bisa dua sampai tiga kali patroli.”

Ada tiga jalur patroli untuk operasi perlindungan dan penga - manan. “Tetapi waktu itu api begitu besar dan angin berhembus kencang. Situasi tidak terkendali lagi. Apalagi kebakaran terjadi pada malam hari, sehingga makin sulit memobilisasi orang,” tandas Fajar.

Untuk membantu pertumbuhan, tim membersihkan ilalang di sekitar tanaman muda. Penyiangan akan memberikan ruang tumbuh bagi bibit yang masih rentan dalam bersaing dengan ilalang. AGUS PRIJONO

Marcelius Adi mengingatkan kembali pentingnya merawat sekat bakar. “Pembabatan untuk mempertahankan tinggi rumput di bawah 5 sentimeter. Itu harus dijaga supaya api tidak menjalar.” Demikian pula sekat bakar harus selebar minimal 30 meter. “Kalau tidak sampai 30 meter, api masih bisa melompat karena embusan angin. Sementara kalau tinggi rumput sudah di atas 10 sentimeter, api juga sudah bisa merambat.”

Pengalaman 2014 memberikan pelajaran penting dalam meng - hadapi musim kering 2015. Perlindungan yang memadukan sekat bakar dengan patroli berhasil mempertahankan areal reforestasi dari kebakaran pada musim kering 2015. Dalam tahun itu, kebakaran melalap kawasan hutan di SPTN II Bungur seluas 3.000 hektare. Ini merupakan kebakaran terbesar dalam 5 tahun terakhir.

Selama tiga tahun, tim reforestasi Rawa Kadut telah menanam 32.000 tumbuhan dengan tingkat kelulusan hidup 58 persen. Tak terlalu besar memang. Namun, mengingat besarnya tantangan, tingkat lulus hidup itu terbilang lumayan. Bayangkan, di antara kepungan ilalang 27.000 hektare, upaya pemulihan yang hanya 60 hektare saja, memerlukan kerja keras pengamanan yang melibatkan masyarakat dan Balai Taman Nasional. Patroli terus dilakukan di sekitar Rawa Kadut sebagai upaya proteksi dan deteksi dini. Selama Juli 2015 hingga Maret 2016 misalnya, Konsorsium menggelar 22 kali patroli pemantauan kebakaran hutan, yang diperkuat oleh tim pengendalian kebakaran hutan.

Rawa Kadut memberikan hikmah penting: upaya pemulihan hu - tan butuh energi besar: tenaga, waktu dan biaya. Di balik kerja keras itu, desain reforestasi yang menekankan perlindungan dan pembi - naan habitat, baik dengan intervensi manusia maupun suksesi alami, menyediakan model pemulihan hutan bagi Balai Taman Nasional dan pihak lain. ***

Bila tak terbakar, semestinya tanaman sudah setinggi dua meteran, seperti terlihat pada pohon yang menaungi sepeda motor. Deretan pohon di depan pondok kerja ini selamat dari kobaran api 2014. AGUS PRIJONO

TANPA AMPUN
Perlu waktu lama untuk mengurangi luasnya padang ilalang. Upaya penghutanan kembali tidak hanya menyangkut persoalan teknis tanam-menanam. Tantangan justru datang dari luar bidang teknis: keamanan kawasan, perburuan liar dan kebakaran hutan. Agaknya jalan masih panjang untuk memulihkan hutan tropis di Way Kambas.

BIBIT NAN RENTAN
Masa depan kawasan ini tergantung pada ribuan bibit tanaman reforestasi. Namun, jumlah dalam bilangan 'ribuan' bagaikan setetes air di samudra ilalang. Tahuntahun awal adalah masa yang menentukan bagi bibit tanaman untuk tumbuh besar, sehingga mampu bersaing dengan alangalang.

Memulihkan ekosistem Way Kambas sehingga menjadi habitat yang aman dan nyaman bagi satwa setempat, seperti gajah, harimau, badak.