Way Kambas, Tenggelam Dalam Balutan Ilalang

Way Kambas, Tenggelam Dalam Balutan Ilalang

November 2013

Motor yang aku tumpangi melaju kencang meninggalkan Camp ALeRT di Bungur, kawasan hutan1 Taman Nasional2 Way Kambas3 , Propinsi Lampung. Segera ilalang mengepungku. Semak perdu menyeruak dan tunggak-tunggak telanjang pun teracung ke langit.

Namun, Suprapto, polisi hutan yang memboncengku lincah memacu motor. Seolah tak terganggu, lelaki asal Cilacap yang telah dua dekade bekerja di Way Kambas ini tetap piawai menerobos ilalang.

Tenggelam dibalut ilalang

Inilah wajah lain Taman Nasional Way Kambas. Wajah yang takkan pernah nongol di brosur wisata mana pun. Way Kambas memang lebih kondang dengan gajahnya. Di sini, binatang darat terbesar di dunia ini menjadi ikon.

Tetapi, gajah jualah sumber konflik berkepanjangan di Way Kambas. Ironis memang. Di satu sisi, dia atraksi nomor satu, bahkan merepresentasikan Propinsi Lampung4. Di sisi lain, dia membawa masalah pelik karena kerap menyerang lahan produksi masyarakat. Sungguh, perebutan ruang hidup satwa dengan manusia terpampang telanjang di tempat ini5.

Konflik penduduk dengan gajah ini tak lepas dari nyaris absennya kawasan penyangga (buffer zone) di Way Kambas. Sebagian besar

Gambar 2. Gajah-gajah di Pusat Latihan Gajah (PLG) di TN Way Kambas. Awalnya didirikan sebagai salah satu solusi mengatasi konflik gajah dan manusia tetapi kemudian berkembang sebagai atraksi wisata. Tapi konfliknya sendiri tak kunjung reda. @ Timer Manurung / SILVAGAMA

tepi taman nasional berbatas langsung dengan pemukiman penduduk6 sehingga begitu gajah keluar taman nasional, ia langsung memasuki kawasan budidaya masyarakat.

Keterbatasan jumlah dan frekuensi patroli polhut7 mengakibatkan relatif leluasanya manusia memasuki Way Kambas. Mereka mencari kayu, menangkap ikan, berburu, menggembala ternak, bahkan bertani. Hal ini tak lepas dari memori masyarakat yang masih lekat dengan bebasnya melenggang ke kawasan ini ketika dijadikan HPH8.

KEBAKARAN (ATAU PEMBAKARAN?) HUTAN

Tiadanya tunggak-tunggak besar seolah bertutur bahwa pepohonan telah dimusnahkan. Mungkin itulah dulu yang dipraktekkan oleh HPH. Pemusnahan pepohonan mengakibatkan kawasan menjadi terbuka sehingga mudah ditumbuhi ilalang. Sudah begitu, dampak El Nino yang dilanjutkan dengan La Nina turut menghadirkan kebakaran hebat pada tahun 1997/1998 yang meluluhlantakkan vegetasi hutan. Ilalang pun mengambil alih9.

Sial, ilalang gampang terbakar. Dia bahan bakar yang gampang disulut. Celakanya, iklim kemarau Way Kambas sungguh kering sehingga percik api dari puntung rokok sekali pun mudah memicu kebakaran hebat. Tiadanya pepohonan serta luasnya areal terbuka mengakibatkan api kebakaran kerap sulit dikendalikan karena angin menjadi kencang dan tak terduga arah bertiupnya.

Sejatinya, kebakaran memicu tumbuhnya rerumputan baru yang disukai satwa. Tak lama setelah terbakar, satwa akan berdatangan memangsa pucuk-pucuk baru rerumputan. Sial, justru itulah yang diinginkan pemburu. Tarikan jemari mereka ke pelatuk senjata hampir selalu sama dengan tewasnya sang satwa. Maka, mungkin bukan kebakaran, tapi pembakaranlah yang kerap terjadi di Way Kambas10. Dan, praktek ini sudah berlangsung lama. “pemburu terbiasa menjebak satwa dengan membakar hutan. Setelah kebakaran biasanya aktivitas perburuan meningkat,” ungkap Suprapto. Tak heran, ilalang seolah abadi di Taman Nasional Way Kambas.

Gambar 3. Kebakaran yang terjadi di SPTN II Bungur pada Oktober 2013. Butuh waktu seminggu untuk memadamkan api. Peristiwa ini menghanguskan sebagian tanaman hutan yang telah susah payah ditanam melalui program Gerhan pada 2012. @ Wito Dwi Prawiro / SILVAGAMA

RESTORASI

Kebakaran yang rutin tentu tak hanya mengganggu pengelola Taman Nasional Way Kambas, tetapi juga satwa karena mematikan pakan dan mengganggu pergerakannya.

Pemadaman tentu saja diperlukan, terutama untuk menghalangi perluasan lahan yang terbakar. Tetapi, itu saja tidak cukup. Ilalang harus dihambat pertumbuhannya dan bahkan harus diganti dengan vegetasi pepohonan yang menunjang kehidupan satwa dan ekosistem Way Kambas. Bila pepohonan tumbuh, tajuknya akan menaungi dan menghambat pertumbuhan ilalang. Akibatnya, sedikit demi sedikit ilalang tergusur dan berubah kembali menjadi belantara.

Bukan perkara mudah mengatasi kebakaran, mempersempit dan menghilangkan ilalang, lalu mengembalikannya menjadi hutan.

Pertama, karena tak semata berurusan dengan teknis reforestasi11, tetapi juga adanya faktor manusia yang aktif melakukan pembakaran. Terhadap hal seperti ini, tentu perlu strategi efektif untuk memonitor untuk mendeteksi masuknya para pembakar ilalang.

Kedua, karena pada dasarnya ilalang sulit dimatikan. Bahkan kebakaran pun tak mematikannya. Tak lama setelah kebakaran, umbi dan akarnya segera tumbuh. Di sisin lain, abu bekas pun justru turut menyuburkan tanah.

Gambar 4. Salah satu kawasan masif ilalang di TN. Way Kambas. Konsistensi penghutanan kembali serta penanggulangan kebakaran yang memadai menjadi kunci keberhasilan restorasi kawasan agar kembali seperti sedia kala. Didigitasi dengan Google Earth Pro oleh Timer Manurung. 2013

Ketiga, kecepatan pertumbuhan ilalang yang melebihi pertumbuhan pepohonan hutan menjadi penghalang bertahan hidupnya anakan vegetasi pepohonan. Tanpa intervensi, ilalang akan dengan cepat melalap anakan vegetasi yang membuatnya sulit mendapatkan sinar matahari dan ruang pertumbuhan.

Keempat, pertumbuhan anakan vegetasi hutan juga dapat terganggu karena lahan yang terbuka mengakibatkan pergerakan dan pandangan satwa lebih leluasa sehingga cenderung merenggut pucuk-pucuk pohon muda. Tak sempatlah anakan ini besar. Atau pertumbuhannya sangat lambat, dan ilalang pun rakus melahapnya.

Menyadari tantangan inilah, Yayasan Silvagama12 secara sengaja memilih Komponen 1 (Reforestasi Tematik, Pengendalian Kebakaran Hutan, dan Pengamanan Suksesi Alami) dalam13 program bersama14 Konsorsium ALeRT-Unila . Komponen ini memaksimalkan dukungan pendanaan TFCA Sumatera15 . Melengkapinya, Silvagama juga menggali sumber-sumber dukungan lain, termasuk mengoptimalkan sumberdaya internalnya.

Kami menyebut keseluruhan aktivitas ini dengan restorasi. Tak sekedar reforestasi, tapi juga memulihkan ekosistem Way Kambas sebagai penyangga hidupan liar atau alami (wildlife) sekaligus menjamin dukungan ekologis bagi wilayah sekitarnya. Karena itulah, selain mengantisipasi kebakaran melalui skema, jalur tanam,dan pemilihan jenis tahan api, vegetasi pepohonan yang akan ditanam juga akan disesuaikan dengan jenis lokal dan pakan satwa, terutama gajah dan badak sumatera.

Gambar 5. Salah satu kawasan masif ilalang di TN. Way Kambas. Konsistensi penghutanan kembali serta penanggulangan kebakaran yang memadai menjadi kunci keberhasilan restorasi kawasan agar kembali seperti sedia kala. Didigitasi dengan Google Earth Pro oleh Timer Manurung. 2013

Restorasi ini didesain untuk senantiasa sinergis dengan program Balai Taman Nasional Way Kambas. Pun, akan semaksimal mungkin meningkatkan partisipasi masyarakat lokal dalam implementasinya. Dalam jangka panjang, restorasi ini dimaksudkan menjadi model dalam penyusunan grand design restorasi ekosistem di seluruh Way Kambas.

Gambar 6. Hangusnya bagian atas ilalang tak membuat rumputrumputan ini seutuhnya mati. ketika kebakaran reda, tunas-tunas baru segera tumbuh yang memancing kedatangan satwa liar. @ Wito Dwi Prawiro / SILVAGAMA

RAWA KADUT

Di dekat penghujung punggungan beralur kecil itu, tiba-tiba ilalang tumbuh menggila, lebat dengan balutan semak-semak berduri. Ranting-rantingnya yang kaku menjuntai segera mencakar wajah dan tangan kami. Daun-daun ilalang membelit roda. Hendra, penduduk Way Bungur yang menjadi pekerja restorasi Yayasan Silvagama pun harus turun tangan menebas semak-semak dengan parangnya. Empat motor yang kami tumpangi pun berjalan terseokseok menerobos lebatnya ilalang.

Tetapi setelah lepas dari hadangan rumput raksasa itu dan mendaki punggungan bukit kecil, ada oase lain yang menghibur. Sungai kecil mengalir dengan tenang di balik kerimbunan pohon. Bening airnya dipenuhi ikan kecil dan ikan gabus yang berenang bebas. Masyarakat setempat menyebutnya sebagai Rawa Kadut.

Gambar 7. Kotoran-kotoran gajah yang berserak di tepian Sungai kadut, menandakan masih sehatnya hidupan liar di sekitar areal restorasi. @ Koen Setyawan / SILVAGAMA

Sungai itu meliuk seperti huruf U di antara padang ilalang. Dibatasi kanan kirinya dengan pohon-pohon besar. Sisanya, ilalang tumbuh tanpa ampun.

Kami lihat peta, Rawa Kadut terletak di tengah hamparan ilalang. Di sinilah kami akan mendirikan pos. Pos Rawa Kadut, itulah namanya.

“Lokasinya dilindungi aliran sungai bervegetasi rapat. Hanya di bagian ujung lekukan sungai itu yang terbuka. Kita tinggal menarik garis lurus yang panjangnya sekitar setengah kilometer dan membuatnya jadi sekat bakar,” kata Wito Dwi Prawiro, Koordinator Restorasi Silvagama.

Menarik, karena pemilihan Rawa Kadut bukan tanpa alasan. Kegiatan restorasi yang dimulai di tengah hamparan ilalang, meskipun relatif jauh dari pemukiman dan atau pos pengelolaan, diharapkan memudahkan arah dan perluasan restorasi berikutnya. Selain itu, ada kolam air di dalam plot yang dipilih tersebut. Satu agak kecil, sedang satunya lebih besar. Keduanya bisa menjadi sumber air untuk menyiram tanaman. Bisa pula untuk memadamkan api apabila terjadi kebakaran. Tak hanya itu, lokasinya yang jauh ke Utara Resort Bungur diharapkan sebagai titik identifikasi penerobos taman nasional dari arah Utara.

Gambar 8. Jembatan kecil yang kami bangun mengantarkan kami melintasi Rawa Kadut. Meski dalamnya hanya 30 cm. Banyaknya kotoran gajah yang kami temukan, menandakan sungai ini sering dikunjungi kelompok gajah. Dan hanya 50 m dari sini, kami dirikan Pos Rawa Kadut. Kelak, kami bermimpi, setelah lelah merestorasi kami bisa menikmati pemandangan gajah yang minum di sungai. @ Koen Setyawan / SILVAGAMA

Batas terluar plot restorasi pun kami petakan. Desain penanaman yang kami rancang berbentuk lapisan berselang-seling 30 meter antara bagian yang ditanami dan yang dibiarkan ditumbuhi alangalang segera disesuaikan dengan bentang alam (landscape) aslinya. Pos ini kelak akan akan dihuni secara bergilir oleh petugas yang terdiri atas polhut dan staf Silvagama berikut masyarakat lokal. Juga akan dilengkapi dengan fasilitas pembibitan tanaman, tandon air, instalasi pengairan untuk pemeliharaan sekaligus pemadaman kebakaran, listrik tepat guna, dan berbagai kebutuhan penunjang lainnya.

Gambar 9. Tanaman reforestasi yang mati meranggas karena terbakar di SPTN II Bungur, Way Kambas pada Oktober 2013. Kebakaran yang terjadi hampir setiap tahun seperti inilah salah satu musuh utama restorasi. Diperlukan pengawasan dan perlindungan yang efektif agar tanaman leluasa tumbuh. @ Wito Dwi Prawiro / SILVAGAMA

Betapapun perlu usaha keras sebelum semuanya terwujud. Mencapainya, kami harus tersuruk-suruk menaklukkan kelebatan ilalang. Dan, bayangan pepohonan lebat yang kembali menghutan menggantikan padang ilalang semakin menguat di benak kami.

Gambar 10. Pagi menyapa restorasi ALeRT di SPTN II Bungur, Way Kambas. Pepohonan mulai menghijau. Jika terhindar dari kebakaran, karena sebagian telah terbakar pada September 2012, pohon-pohon ini akan mengembalikan fungsi Way Kambas sebagai penyangga hidupan liar atau alami (wildlife) dan menjamin dukungan ekologis bagi wilayah sekitarnya. @ Koen Setyawan / SILVAGAMA

“Jangan pernah menyerah sebelum mencobanya,” seloroh Hendra. Bernada kelakar memang dia, tapi tepat menggambarkan tekad kami. Di Rawa Kadut harapan kami menggumpal.

1 Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Dengan defenisi yang demikian, kawasan hutan tidak selalu bertutupan hutan. Dan itu tak jarang terjadi. Luas kawasan hutan Indonesia adalah 129.023.378,15 hektar. Dari keseluruhan kawasan tersebut, baru 21.448.000 hektar (setara dengan 16,62% dari total kawasan hutan) yang sudah tuntas dikukuhkan atau ditetapkan.

2 Taman nasional adalah kawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi.

3 Taman Nasional Way Kambas (TNWK) merupakan kawasan hutan konservasi yang ditunjuk melalui Surat Menteri Kehutanan No. 670/Kpts- II/1999 tanggal 26 Agustus 1999 dengan luasan mencapai 125.631.31 hektar. Secara administratif, TNWK berlokasi di Kabupaten Lampung Timur dengan koordinat geografis antara 40037' – 50016' Lintang Selatan dan antara 105033' – 105054' Bujur Timur.

Bila melihat luasnya, terkesan TNWK bukanlah prioritas penting konservasi. Namun, tidak demikian halnya bila melihat secara menyeluruh Pulau Sumatera. Tekanan konversi yang luar biasa besar, baik menjadi HTI, perkebunan, maupun kawasan budidaya lainnya, terutama terjadi terhadap hutan dataran rendah di Sumatera. Dan, Way Kambas adalah salah satu hutan dataran rendah terluas yang tersisa di Sumatera.

Keragaman hayati hutan dataran rendah jelas sedemikian tinggi, termasuk floranya. Demikian halnya Taman Nasional Way Kambas. Kecuali orangutan, semua megafauna kharismatis Sumatera terdapat di Way Kambas, seperti gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus), harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae) , badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis), dan tapir (Tapirus indicus). Bahkan, terdapat satwa yang di dunia kini hanya tersisa di Way Kambas, yakni mentok rimba (Asrcornis scutulata).

Letaknya yang terisolir terpisah dari kawasan budidaya serta berbatas langsung dengan laut membuatnya relatif aman. Posisi seperti ini juga yang membuat badak jawa (Rhinoceros sondaicus) stabil di Taman Nasional Ujung Kulon. Namun, berkebalikan dengan TN Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Lampung yang lebih luas tapi penuh dengan perambahan dan bahkan diusulkan akan “dibelah” oleh jalan raya. padahal, bagi kementerian Kehutanan, TNBBS dikategorikan balai besar sehingga dikepalai pejabat setingkat eselon 2. Jadi, jangan heran bila Way Kambas yang hanya dikepalai pejabat eselon 3 memiliki kuantitas dan kualitas satwa sejenis yang lebih baik dibanding TN Bukit Barisan Selatan, dan oleh karena itu semestinyalah program konservasi, termasuk proteksi, Way Kambas diprioritaskan.

Wilayah pengelolaan Taman Nasional Way Kambas dibagi menjadi beberapa SPTN (Seksi Pengelolaan Taman Nasional). Selanjutnya SPTN dibagi lagi menjadi beberapa resort.

4 Kawasan hutan di Propinsi Lampung telah ditunjuk sejak zaman Kolonial Belanda. Akan tetapi dari tahun ke tahun luasnya kian menyusut. Pada tahun 1991, luas defenitif kawasan hutan Lampung seluas 1.237.268 hektar, yang menyusut menjadi 1.144.512 hektar pada tahun 1999 dan menyusut lagi menjadi 1.004.735 hektar pada tahun 2000 seiring terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 256/Kpts-II/2000 tanggal 23 Agustus 2000. Selain TNWK, kawasan konservasi yang ada di Lampung antara lain Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (356.800 hektar), Cagar Alam Krakatau (13.735,1 hektar), dan Taman Hutan Raya (Tahura) Wan Abdul Rahman (22.244 hektar).

5 Setiap tahun selalu ada konflik penduduk dengan gajah di sekitar Way Kambas. Sebagai gambaran tingginya konflik tersebut terlihat dari rekaman Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP) Way Kambas yang mencatat terjadinya 274 kali gangguan gajah hanya pada rentang Bulan Januari – Mei 2012 saja.

6 Terdapat 36 desa yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Way Kambas. Jumlah ini sangat mungkin bertambah mengingat terbukanya kemungkinan pemekaran desa bahkan ketika batas desa awal sekalipun belum jelas.

7 Polisi Hutan. Satuan pengamanan kawasan di dalam organisasi kerja Balai Taman Nasional Way Kambas.

8 Singkatan dari Hak Pengusahaan Hutan. HPH merupakan konsesi pemanenan kayu (logging) dalam kawasan hutan negara. Sebelum ditunjuk menjadi taman nasional, sebagian kawasan Way Kambas merupakan areal HPH

9 Digitasi cepat Yayasan Silvagama mencatat eksisnya hamparan ilalang masif seluas 40.780 hektar di Resort Bungur dan sekitarnya. Hamparan ini saja sudah mencakup 32% dari seluruh luas TNWK. Padahal, masih terdapat beberapa spot illalang lainnya di dalam TNWK.

10 Menurut data base Balai Taman Nasional Way Kambas, kebakaran selalu terjadi hampir setiap tahun, dengan luasan areal bervariasi. Kebakaran terherbat dan mengakibatkan kerusakan terluas tentulah terjadi pada 1997/1998.

Grafik kebakaran hutan di TN Way Kambas

11 Selain Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GERHAN) setiap tahun menanami padang ilalang dengan berbagai jenis tanaman. Organisasi lainnya, ALeRT (Aliansi Lestari Rimba Terpadu) pun tak ketinggalan melakukan reforestasi di TNWK.

12 Organisasi non pemerintah yang bergerak di bidang pelestarian sumberdaya alam. Didirikan pada tanggal 12 November 2009 dengan tujuan mengupayakan terwujudnya kelestarian sumberdaya alam dan keseimbangan lingkungan demi kelangsungan kehidupan manusia. Untuk mencapai tujuan tersebut, Silvagama melaksanakan kegiatankegiatan dengan maksud: (i) Mempromosikan aksi-aksi nyata dan positif dalam pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan; (ii) Mengeliminir aksi-aksi destruktif 1 sumber daya alam; (iii) Mengembangkan aktivitas-aktivitas yang mendorong peningkatan kesejahteraan dalam jangka panjang sebagai tools utama pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan; (iv) Melahirkan kebijakan -kebijakan yang berpihak pada konservasi dan peningkatan kesejahteraan; (v) Membentuk kader-kader pelestari sumberdaya alam sehingga baik secara pribadi dan dan atau bersama-sama dengan pihak lain terlibat dalam upaya pelestarian sumberdaya alam dan lingkungan.

13 Program bersama ini terdiri atas 4 komponen, yang masing-masing adalah Komponen 1 (Reforestasi tematik (terutama pakan gajah), dalkarhut dan pengamanan suksesi alami), Komponen 2 (Pemantauan dan Perlindungan distribusi populasi dan kondisi sumber daya vital harimau, badak, gajah, tapir, beruang dan mentok rimba), Komponen 3 ( Mengembangkan model pengelolaan ekowisata minat khusus), Komponen 4 (Pengembangan ekonomi kreatif dan penyadartahuan sebagai dukungan penanganan konflik satwa-manusia).

14 Konsorsium ini terdiri atas ALeRT, Universitas Lampung (UNILA), Program Konser vasi Harimau Sumatera (PKHS), Forum Rembug Desa Penyangga (FRDP) Way Kambas, Sajogyo Institute (SAINS), Yayasan SILVAGAMA, Saka Wana Bakti Way Kambas, dan Save Indonesia Endangered Species (SIES).

15 TFCA-Sumatera merupakan program skema pengalihan utang untuk lingkungan (Debt for-Nature Swap) yang disepakati oleh Pemerintah Amerika Serikat dan Pemerintah Indonesia berdasarkan Tropical Forest Conser vation Act / TFCA (Undang - Undang Pelestarian Hutan Tropis Pemerintah Amerika Serikat tahun 1998). Skema ini dirancang untuk menjaga dan merestorasi hutan tropis di berbagai negera yang mempunyai kekayaan hutan tinggi melalui program pendanaan bagi kegiatan konservasi hutan oleh masyarakat madani, termasuk Lembaga Non-Pemerintah dan perguruan tinggi. Skema pendanaan yang di Indonesia disebut dengan TFCA-Sumatera diadministrasikan oleh Yayasan KEHATI untuk memfasilitasi pendanaan hibah bagi kegiatan yang diantaranya mencakup restorasi dan konservasi hutan di 13 bentang alam prioritas di Sumatera. Bentang alam atau kawasan prioritas [mencakup kawasan penyangga (buffer zone), koridor, dan kawasan-kawasan penghubung] tersebut adalah: (1) Hutan Warisan Seulawah, (2) Taman Nasional Leuser dan Ekosistem Leuser, (3) Taman Nasional Batang Gadis, (4) Ekosistem Angkola, (5) Batang Toru, (6) Daeran Aliran Sungai Toba Barat, (7) Taman Nasional Bukit Tigapuluh, (8) Semenanjung Siak Kampar, (9) Ekosistem Tesso Nilo, (10) Taman Nasional Kerinci-Seblat, (11) Kepulauan Siberut & Mentawai, (12) Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan (13) Taman Nasional Way Kambas.

Memulihkan ekosistem Way Kambas sehingga menjadi habitat yang aman dan nyaman bagi satwa setempat, seperti gajah, harimau, badak.