Feature

Adu Cepat di Rawa Kadut

Luasnya hamparan ilalang menjadi tengara masa lalu masih menggelayuti Way Kambas. Untuk menumpas rumput tangguh itu, hutan ditumbuhkan kembali. Namun, upaya pemulihan hutan sungguh tidak mudah.

Disalin sepenuhnya dari:

Ekuilibrium Konservasi: Menjaga Keseimbangan di Taman Nasional Way Kambas (TFCA Sumatera, 2017)

Rinai hujan sepertinya enggan berhenti. Sudah sejak pagi, gerimis mengguyur Way Kambas. Tak menghiraukan cuaca yang basah, Tim reforestasi itu beranjak ke jantung taman nasional. Serejang menunggu hujan reda, Fajar Sandika Negara dan timnya berteduh di kedai sederhana. Kopi hangat menemani koodinator reforestasi Konsorsium AL eRT-Universitas Lampung itu

Hari itu, dia hendak ke lokasi reforestasi, atau penghutanan kembali, Rawa Kadut di Resor Toto Projo, Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) II Bungur, Taman Nasional Way Kambas. Rawa Kadut berada di tengah padang ilalang di jantung taman nasional. Di sisi timur Rawa Kadut membentang hutan dataran rendah, dan di sisi barat terdapat sederet hutan yang ringkih. Kendati didomi - nasi ilalang, hutan tumbuh hijau di sepanjang sungai kecil. Deretan hutan ini membentuk jaringan seperti lengan gurita: menjalar ke segala arah mengikuti anak sungai.

“Upaya reforestasi di Rawa Kadut akan menautkan hutan di timur dengan hutan di sisi barat taman nasional.”

HUTAN TUMBUH KEMBALI. Perlahan-lahan, di areal restorasi Bambangan, taman nasional dan AleRT menumbuhkan kembali hutan Way Kambas. Pemulihan ekosistem di Bambangan membuktikan bahwa hutan dapat kembali tumbuh dengan usaha keras dan kesabaran.

Pondok kerja di lapangan untuk menjaga, merawat, dan memastikan bibit tanaman dapat tumbuh secara normal. Aktivitas di pondok kerja juga untuk mencegah pemburu liar masuk taman nasional. Sayangnya, upaya pencegahan itu tak selalu berhasil. Pemburu tetap saja membakar lahan untuk memburu satwa liar.

Bila tak terbakar, semestinya tanaman sudah setinggi dua meteran, seperti terlihat pada pohon yang menaungi sepeda motor. Deretan pohon di depan pondok kerja ini selamat dari kobaran api 2014.

Kopi telah tandas di dasar gelas. Kendati cuaca tak pasti, dia tetap berangkat berombongan dengan sepeda motor. Roda-roda sepeda motor mengaduk setapak yang berlumpur. Setelah menyeberangi sungai dengan menumpang rakit yang rapuh, rombongan menem - bus hutan sekunder. Aroma hutan mengapung di udara. Pepohonan tumbuh rapat. Air menggenang, jalan setapak berlumpur.

Keluar dari hutan, rombongan mulai menembus hamparan alangalang. Di segala penjuru, rumput berbulu itu merajai bentang alam. Di batas cakrawala, hutan berbaris jarang-jarang. Hutan galeri tumbuh di sepanjang aliran sungai kecil. Sisa-sisa kejayaan hutan di masa lalu terlihat dari satu dua pohon yang masih bertahan hidup. Dalam pandangan 360 derajat, ilalang menguasai bentang alam.

Dari batas hutan tadi, jarak ke Rawa Kadut sekitar 10 kilometer. “Itu jarak lurus di atas peta,” ujar Fajar. Tapi di lapangan, ia menempuh jarak lebih jauh karena jalan yang berbelok-belok. Di hamparan alang-alang itu, angin berhembus leluasa tanpa penghalang. Langit membentang lapang. Hujan yang baru turun seolah tak berbekas. Air begitu cepat menguap.

Munculnya lautan ilalang ini lantaran perbuatan manusia. Fajar mengatakan, pada era 1970-an, perusahaan hutan pernah mengelola wilayah ini. Dahulu, wilayah taman nasional memang areal konsesi pengusahaan hutan selama kurun 1970-an hingga 1980-an.

Setelah itu, pembalak liar menebangi pohon hingga awal 2000. Ganasnya pembalakan liar tak menyisakan pepohonan. Bahkan tonggak akar pun tak ada bekasnya. Akibatnya, hutan semakin terbuka, lalu tumbuhlah ilalang.

Sialnya, itu bukan pukulan terakhir. Setelah itu, orang-orang tak bertanggung jawab menggunakan padang ilalang sebagai ladang perburuan. Mereka menyasar satwa dengan cara membakar lahan. Ilalang makin merajalela, pohon hutan semakin sulit tumbuh. Tanpa disadari, pembakaran berulang-ulang telah menciptakan bentang alam buatan manusia: ekosistem padang ilalang.

Sebenarnya, tanpa campur tangan manusia, hutan Way Kambas yang pernah ditebang bisa memulihkan diri. Melalui kondisi tanah dan anakan vegetasi, tangan alam dapat melakukan suksesi alami. Secara alami, hutan sebenarnya punya daya lenting: ia bisa memulihkan kembali.

Menjulang di tengah padang, pohon ini menunjukkan hutan pernah menyelimuti kawasan Rawa Kadut. Kini, perlu usaha keras untuk memulihkan kembali hutan yang telah sirna.

Dari 125.621 hektare luas taman nasional, hanya 78.500 hektare atau 60 persen yang diselimuti hutan dataran rendah. Sisanya 40 persen terdiri dari hutan mangrove, hutan rawa, ilalang dan belukar. Data Balai Taman Nasional menyebutkan, hamparan ilalang mencakup luasan 27.000 hektare.

Di tengah lautan ilalang itu, Konsorsium ALeRT-UNILA berupaya menumbuhkan kembali hutan yang telah sirna. Sebagai salah satu anggota Konsorsium, Yayasan Auriga memegang kendali atas program reforestasi. Dan hari itu, Fajar akan menilik lokasi reforestasi Rawa Kadut. Lokasinya kira-kira berada di padang ilalang di pusat taman nasional. Ini wilayah antah-berantah. Meski bisa dijangkau dengan sepeda motor, namun untuk urusan logistik penanaman, Rawa Kadut terbilang terpencil: jauh dari pemukiman dan pos pengelolaan taman nasional.

Ada beberapa alasan memilih lokasi yang terpencil. “Pertimbangan pertama, kita melihat Rawa Kadut strategis. Rawa Kadut betul-betul berada di tengah taman nasional. Artinya, di masa depan kalau kita mau melanjutkan reforestasi, arahnya bisa ke mana saja.” Dalam pandangan Fajar, keberhasilan penghutanan kembali di Rawa Kadut bisa dilanjutkan ke segala arah. Dengan demikian, hutan yang kembali tumbuh akan menjadi koridor yang menautkan habitat satwa yang terpecah-belah.

Kebakaran hutan menghanguskan apa saja yang ada di padang ilalang. Rumput yang mengering amat rawan kebakaran. Sekali tersulut, api akan berkobar, lalu melalap semua bentuk kehidupan.

“Sayangnya, baru berumur 8 - 9 bulan, tanaman lebur dilalap api.”

Alur pikirnya begini. Di sisi timur Rawa Kadut, membentang hutan dataran rendah yang luas dan relatif utuh; sementara di barat, berserakan bercakbercak hutan. Hamparan alang-alang Rawa Kadut membentang di tengahtengah, yang memisahkan kerumunan hutan di timur dan di barat itu.

Harapannya, di masa datang, upaya penghutanan kembali, yang dimulai dari Rawa Kadut, bisa menyambungkan hutan di timur dan barat. Tutupan hutan di sisi barat relatif masih bagus; sementara di sisi timur, hutan telah jarangjarang, yang sekaligus menjadi batas kawasan taman nasional.

Tersambungnya dua sisi hutan itu akan membentuk koridor vegetasi, yang memudahkan satwa menjelajahi taman nasional. Yang kedua, lanjut Fajar, Rawa Kadut sekaligus berada di pusat masalah taman nasional, terutama perburuan satwa liar. “Program reforestasi akan memperbanyak aktivitas di tengah taman nasional yang bisa mencegah perburuan liar. Jadi ketika ada aktivitas di Rawa Kadut, pemburu akan berpikir dua kali dan menghindar.” Ringkasnya, kehadiran personel memberikan efek gentar kepada pemburu liar. Itu pertimbangan dari sisi nonteknis.

Sedangkan secara teknis tanam-menanam, upaya reforestasi memerlukan beberapa syarat: lokasi pembibitan tak jauh dari areal penanaman, persemaian

cukup terbuka untuk sinar matahari; dan mudah dijangkau. Di atas segala syarat tersebut, yang terpenting adalah sumber air di sekitar persemaian. Air menjadi faktor pembatas keberhasilan tanam-menanam. Di sekitar Rawa Kadut, air berasal dari aliran sungai, sumur, dan hujan.

BILAH-BILAH daun ilalang bergelombang di terpa angin tropis. Daun alangalang yang masih basah memantulkan cahaya matahari. Saat menembus alang-alang, daun rumput yang tajam dan berbulu halus menampari lutut. Lama-kelamaan terasa perih. Bentangan rumput ini bukan seperti lapangan bola yang berumput lembut. Bayangkan: alang-alang tumbuh setinggi leher, tepi daunnya tajam, bulu-bulu daun menyengat kulit. Setelah melewati hutan galeri— deretan vegetasi yang tumbuh di sepanjang sungai kecil, Fajar tiba di pondok kerja reforestasi. Mendung masih menggantung di langit.

Di pondok kerja berloteng itu, hari itu Ahmad Tohari dan Sutrisno sedang giliran bertugas. “Piket rutin biasanya antara dua sampai empat orang selama delapan hari. Setelah itu pulang, ganti orang,” jelas Fajar.

Sekali ilalang terbakar, api akan mengamuk ke segala arah. Kebakaran telah melumat bibit penghutanan kembali pada 2014. Embusan angin mempersulit usaha memutus menjalarnya api.

KEBAKARAN hutan merupakan tantangan terbesar dalam memu - lihkan hutan Rawa Kadut. Sedikitnya, 75 persen tutupan lahan di STPN II Bungur didominasi ilalang dan semak belukar. Jadi tak mengejutkan bila api kerap membakar wilayah ini. Setiap tahun, kebakaran hutan di Bungur adalah yang terluas di Way Kambas. Tantangan inilah yang menguras energi. Fajar menuturkan, pada 2015 dilakukan penanaman ulang terhadap tanaman 2014 yang habis dilumat api. “Akhirnya, kita menanam lagi. Itu jadinya bukan penyulaman,” Fajar menegaskan.

“Asal tidak terbakar, sebenarnya tanaman masih bisa tumbuh. Dari teknis penanaman tidak ada masalah. Saat kemarau, tanaman pasti tumbuh walaupun mungkin kekurangan air,” timpal Marcelius. “Meski dilanda kemarau, kita selalu memasok air di lokasi penanaman. Memang saat musim kering, air hilang sama sekali. Bahkan sumur di pondok kerja juga mengering. Ke depan, kita harus membuat sumur dalam sekitar 15 meter di lokasi reforestasi. Sumur yang ada sekarang paling hanya sedalam 6 - 8 meter.”

Sejak tahap perencanaan, tim telah memilih tanaman pionir dan relatif tahan api. “Puspa, sempu, dan sungkai merupakan jenis pionir yang tahan api. Asal tanaman sudah tumbuh 50 sentimeter sampai 1 meter, kalau pun terbakar, akarnya masih cukup kuat,” ungkap Marcelius. Kebakaran hebat pada 2014 memberikan pelajaran penting dalam upaya memulihkan hutan di Rawa Kadut dan sekitarnya.

Bibit tanaman dipungut dari wilayah taman nasional untuk menjamin keaslian spesiesnya.

Bibit tanaman dipungut dari wilayah taman nasional untuk menjamin keaslian spesiesnya.

Areal pembibitan berada di lapangan untuk membantu adaptasi bibit, serta memudahkan pengangkutan bibit ke areal penanaman.

“Evaluasi kita ada beberapa hal. Pertama deteksi dini harus lebih cepat. Waktu itu api terdeteksi sudah sangat dekat dengan sekat bakar. Kedua, setelah api dipadamkan, harus dipantau kembali untuk memastikan bara benar-benar padam,” Fajar memaparkan. Pence - gahan kebakaran diperkuat dengan patroli rutin bersama polisi hutan. “Kita semakin rutin berpatroli, setiap bulan bisa dua sampai tiga kali patroli.”

Ada tiga jalur patroli untuk operasi perlindungan dan penga - manan. “Tetapi waktu itu api begitu besar dan angin berhembus kencang. Situasi tidak terkendali lagi. Apalagi kebakaran terjadi pada malam hari, sehingga makin sulit memobilisasi orang,” tandas Fajar.

More Feature
Way Kambas, Tenggelam Dalam Balutan Ilalang
Tersuruk-suruk menyusup ilalang. Bukannya surut, justru menebalkan tekad: ilalang diganti hutan lebat! Di Rawa Kadut jalan panjang, berliku, dan berstamina ekstra itu bermula.
Matikan api menjaga puspa
Fajar Sandhika dan timnya melawan api yang melahap ladang ilalang di Rawa Kadut, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Hasil kerja mereka berhasil menyelamatkan program reforestasi 100 hektare dengan sekitar 10 ribu pohon.

Memulihkan ekosistem Way Kambas sehingga menjadi habitat yang aman dan nyaman bagi satwa setempat, seperti gajah, harimau, badak.